Arsip untuk April 27th, 2010

27
Apr
10

THE ETNOTIGROLOGI FRAMEWORK


Sebuah Kerangka Dasar Pemikiran ETNOTIGROLOGI

Oleh: Didik Raharyono, S.Si.

Wildlife Biologist

Kepala Harimau Loreng yang telah menjadi Kepala Dadak Reyog.

Pendahuluan

Etnotigrologi berasal dari tiga suku kata: etno = budaya, tigro dari tigris = harimau, sedangkan logi = pengetahuan.

Latar belakang Sejarah Etnotigrologi

Pengejaran dan pembuktian eksistensi harimau jawa (Panthera tigris sondaica) sepanjang rentang waktu hampir satu dasawarsa lebih (1997 – 2009) dimulai dari Jawa Timur ke Jawa Tengah dan di  sebagian Jawa Barat, berdampak pada perjumpaan beragam pengetahuan lokal yang unik dan eksklusif mengenai harimau.  Selain sosok eksistensi harimau jawa sebagai hewan, juga diperoleh pengetahuan tambahan mengenai eksistensi harimau sebagai satwa mistik, semangat ilmu magic dan prewangan. Berbagai suku yang dijumpai penulis baik: Jawa, Osing, Madura (urban di bagian timur Pulau Jawa) dan Sunda ternyata mempunyai kebudayan yang unik dalam interaksi mereka dengan  harimau jawa. Bahkan pengetahuan itu terekam sebagai foklor turun temurun, arca, keris, batik, ukiran, gunungan wayang, peribahasa, idiom, simbol/lambang organisasi dan berbagai kegiatan kebudayaan yang lainnya.

Penjelajahan dari hutan ke hutan selalu melibatkan pemandu lokal. Sedangkan sebelum masuk hutan berinteraksi dengan masyarakat tepi kawasan hutan. Dan dari merekalah penulis menemukan mutiara-mutiara pengetahuan lokal mengenai harimau sebagai simbol semangat mistik sampai foklor-foklor khas masyarakat Jawa, Madura dan Sunda. Kebetulan beragam informasi tersebut penulis kumpulkan dalam catatan lapang secara khusus maupun ceceran informasi yang terpenggal-penggal dari dalam benak penulis.

Interaksi dengan masyarakat tempatan selama berlangsungnya kegiatan pemantauan eksistensi harimau jawa bermula dari daerah Banyuwangi Barat dan Jember Selatan. Banyaknya informasi baik kesaksian maupun nilai-nilai mistis yang diyakini masyarakat menimbulkan serpihan-serpihan catatan yang menarik. Bahkan berbagai Foklor, pengisahan kesaksian yang membahasakan seolah harimau berperilaku seperti manusia menggugah penulis mencetuskan gagasan kajian keilmuan dengan penamaan awal “Anthro-biomacan” sejak awal 2000.

Kajian Anthro-biomacan mengalami perkembangan yang bersumber pada penyimbulan sosok harimau loreng yang ada di Gunungan Wayang kulit berhadapan dengan banteng. Oleh penulis informasi dikembangkan dengan pengejaran ke berbagai literatur lokal seperti Babad Pathi oleh Pak Buditarni (tidak diterbitkan), naskah relief di Candi Borobudur Jawa Tengah, Babad Cirebon, penggalian Foklor dari kerabat penulis, Reog Ponorogo, hingga Barongan.

Sejalan dengan perkembangan waktu, koleksi pengetahuan lokal masyarakat semakin melimpah. Hal yang paling berkesan adalah pertemuan penulis dengan seorang budayawan di sebuah lereng Gunung di Jawa Tengah yang menunjukkan sebilah kerisnya yang bernama Singobarong. Keris tersebut diyakini sebagai peninggalan leluhurnya yaitu Sunan Kalijaga. Seorang Wali pengembang dan penyiar Agama Islam di tanah Jawa yang amat terkenal. Keris tersebut menunjukkan daya seni yang tinggi. Sedangkan dibagian depan dekat pangkal keris terdapat sebuah ukiran sosok harimau yang posisinya duduk dengan mulut yang terbuka. Konon dibagian mulut ini tertatahkan sebutir intan.

Tahun 2009 penulis bertemu dengan Bapak Leon BP, seorang peneliti Angrek CIFOR Bogor di Perum Nirwana. Dari berbagai diskusi yang sangat lama, akhirnya muncul ide untuk menamai kajian anthro-biomacan sebagai etnotiger. Teranalogkan dengan bidang kajian yang beliau geluti dan akan beliau rumuskan sebagai etnoorchidologi. Dalam perjalanan di atas kereta api Cirebon Expres jurusan Jakarta-Cirebon, maka penulis terinspirasi untuk memberi nama kajian etno tiger sebagai ETNOTIGROLOGI.

Semoga gugahan inspirasi ini mampu melengkapi khasanah ketinggian budaya olah cipta karsa manusia Penghuni Pulau Jawa.




Risearcher

Kliping

April 2010
S S R K J S M
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
2627282930  

Bacaan